Rabu, 06 April 2011

INDAHNYA ANEKA BUNGA “WISTERIA” DI JEPANG (BEAUTIFUL WISTERIA IN JAPAN)

-
- -
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
WISTERIA
-
-
Wisteria flower.
-
Wisteria (also spelled Wistaria) is a genus of flowering plants in the pea family, Fabaceae, that includes 10 species of woody climbing vines native to the eastern United States and the East Asian states of Japan, China, and Korea. Aquarists refer to the species Hygrophila difformis, in the family Acanthaceae, as Water Wisteria.
-
Wisteria vines climb by twining their stems either clockwise or counter-clockwise round any available support. They can climb as high as 20 m above ground and spread out 10 m laterally. The world’s largest known Wisteria vine is located in Sierra Madre, California, measuring more than 1 acre (0.40 ha) in size and weighing 250 tons.
-
The leaves are alternate, 15 to 35 cm long, pinnate, with 9 to 19 leaflets. The flower are produced in pendulous racemes 10 to 80 cm long, similar to those of the genus Laburnum, but are purple, violet, pink or white, but not yellow. Flowering is in the spring (just before or as the leaves open) in some Asian species, and in mid to late summer in the American species and Wisteria Japonica. The flowers of some species are fragrant, most notably Chinese Wisteria (Wisteria Sinensis). The seeds are produced in pods similar to those of Laburnum, and, like that genus, are poisonus.
-
Wisteria Japonica.
--
-
Chinese Wisteria (Wisteria Sinensis).
-
There are two noted attributions for the name Wisteria. One, that the botanist Thomas Nuttall named the genus Wisteria in honour of Dr. Caspar Wistar (1761 – 1818) — some call it Wistaria but the misspelling is conserved under the International Code of Botanical Nomenclature. The other, that the genus was named after Charles Jones Wister, Sr., of Grumblethorpe, the grandson of merchant and wine importer John Wister. Daniel Wister, Charles’s father, joined with Samuel Miles and Rober Morris to underwrite the voyage of the American commercial vessel Empress of Chine. On board the ship was the vine that would later bear the Wister name.
-
Wisteria species are used as food plants by the larvae of some Lepidopteraspecies including brown-tail. It is also an extremely popular ornamental plant in Japan and China.
-
CULTIVATION
-
Wisteria, especially Wisteria sinensis, is very hardy and fast-growing. It is considered an invasive species in certain areas. It can grow in fairly poor-quality soils, but prefers fertile, moist, well-drained ones. It thrives in full sun to partial shade.
-
Wisteria can be propagated via hardwood cutting, softwood cuttings, or seed. However, seeded specimens can take decades to bloom; for that reason, gardeners usually grow plants that have been started from rooted cuttings or grafted cultivars known to flower well. Another reason for failure to bloom can be excessive fertilizer (particularly nitrogen). Wisteria has nitrogen fixing capability (provided by Rhizobia bacteria in root nodules), and thus mature plants may benefit from added potassium and phosphate, but not nitrogen. Finally, wisteria can be reluctant to bloom because it has not reached maturity. Maturation may require only a few years, as in Kentucky Wisteria, or nearly twenty, as in Chinese Wisteria. Maturation can be forced by physically abusing the main trunk, root pruning, or drouhgtstress.
-
Wisteria can grow into a mound when unsupported, but is at its best when allowed to clamber up a tree, pergola, wall, or other supporting structure. Whatever the case, the support must be very sturdy, because mature Wisteria can become immensely strong with heavy wrist-thick trunks and stems. These will certainly rend latticework, crush thin wooden posts, and can even strangle large trees. Wisteria allowed to grow on houses can cause damage to gutters, downspouts, and similar structures. Its pendulous racemes are best viewed from below.
-
Wisteria flowers develop in buds near the base of the previous year’s growth, so pruning back side shoots to the basal few buds in early spring can enhance the visibility of the flowers. If it is desired to control the size of the plant, the side shoots can be shortened to between 20 and 40 cm long in mid summer, and back to 10 to 20 cm in the fall. The flowers of some varieties are edible, and can even be used to make wine. Others are said to be toxic. Careful identification by an expert is strongly recommended before consuming this or any wild plant. (Source: Wikipedia).

Rabu, 30 Maret 2011

Suburnya Kesesatan Lewat Pendidikan Islam di Indonesia


Kamis, 31/03/2011 05:50 WIB | email | print

Oleh Hartono Ahmad Jaiz*
Suburnya aliran sesat di luaran (di masyarakat umum) bisa diketahui orang. Namun suburnya penyemaian dan propaganda kesesatan lewat jalur resmi dalam pendidikan tinggi Islam se-Indonesia, banyak yang tidak bisa diketahui umum. Padahal justru lebih sangat berbahaya pula.Itu artinya, ada jalur-jalur yang ditempuh:
  1. Aliran sesat di luaran (di masyarakat umum, bukan di tempat-tempat pendidikan resmi) dipelihara secara malu-malu, dan tempo-tempo pura-pura digebug sebagai alat pelayanan terhadap ummat Islam, nantinya dibiarkan lagi dan bahkan dirangkul.
  2. Kesesatan yang di dalam jalur structural diimpor dari orang kafir ataupun murtad (dengan cara menyekolahkan para dosen IAIN dll untuk belajar “Islam” ke negeri-negeri kafir di Barat) kemudian dipelihara dan disebarkan secara sistematis lewat perguruan tinggi Islam se-Indonesia dengan kurikulum seragam dari Departemen Agama RI.
Kemudian ketika diprotes umat (karena tadinya sebelum tahun 1980-an kurikulumnya berpijak pada Ahlus Sunnah alias tunduk kepada dalil ayat Al-Qur’an dan hadits, tapi kemudian diubah menjadi Mu’tazilah dengan meninggikan atau mendahulukan akal dibanding naql/wahyu oleh Harun Nasution pemimpin IAIN Jakarta alumni Mc Gill Canada atas pengaruh Mukti Ali Menteri Agama) maka sudah ada jawabannya yang praktis, yaitu sekarang Departemen Agama (Kementerian Agama) sulit untuk mengubah kurikulum itu kembali ke Ahlus Sunnah, karena masing-masing perguruan tinggi Islam sudah berdiri secara otonomi. Itulah sebuah permainan, semula sengaja diubah menjadi Mu’tazilah.
Setelah berubah dan bahkan sampai jadi liberal dan bahkan pluralism agama alias menyamakan semua agama (yang bahasa Islamnya kurang lebih adalah kemusyrikan baru), lantas ada suara-suara mengkritik, agar dikembalikan ke yang semula yakni Ahlus Sunnah, maka mereka beralasan bahwa kini sulit karena sudah otonomi masing-masing perguruan tinggi Islam. Permainan itu hanyalah untuk menutupi belaka, dalam rangka memain-mainkan agama Islam diarahkan kepada liberal alias bebas, yakni merelatifkan kebenaran Islam dianggap relative sama dengan agama-agama lain.
Semua itu dicekokkan kepada para mahasiswa, yang pada hakekatnya adalah pemusyrikan baru alias pemurtadan. Namanya masih perguruan tinggi berlabel Islam, namun isinya justru merusak Islam, dari tunduk kepada wahyu menjadi tunduk kepada hawa nafsu mereka. Benar-benar pendidikan yang berlabel Islam namun hakekatnya pendidikan untuk menjadikan hawa nafsu (mereka sebut akal) sebagai tuhannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Tahu atas kejahatan mereka yang dalam bayang-bayang kekafiran tingkat dunia ini.
3. Apakah benar-benar otonomi? Belum tentu. Buktinya, sejak ditulis buku berjudul Ada Pemurtadan di IAIN (se-Indonesia) oleh Hartono Ahmad Jaiz tahun 2005, kemudian Ummat Islam secara serempak tampaknya tidak berminat memasukkan anak-anaknya ke Fakultas Ushuluddin di manapun di perguruan tinggi Islam: IAIN, UIN, STAIN, STAIS dan semacamnya. Lalu tampaknya para pengelola perguruan tinggi itu cari akal dengan aneka cara.
Belakangan, sampai ada yang dengan cara mengganti nama Ushuluddin itu dengan nama Da’wah, namun muatannya adalah Ushuluddin yang telah dinilai bahaya oleh masyarakat itu, dan mahasiswanya diberi bea siswa dari Kementerian Agama. Sehingga Ushuluddin yang sudah tidak diminati oleh masyarakat itu cukup diubah namanya, dan bahkan diberi kucuran dana dari Kementerian Agama, maka mahasiswanya pun banyak jumlahnya.
Apakah itu bukan merupakan pengelabuhan terhadap Ummat Islam oleh lembaga pusat yang menguasai IAIN, UIN, STAIN, dan STAIS? Dan apakah pengumpulan dosen-dosen IAIN dll se-Indonesia sejumlah 165-an orang pertahun yang konon didanai oleh The Asia Foundation atau lembaga kafir semacamnya lewat Kementerian Agama selama ini bukan merupakan bukti bahwa IAIN, UIN, STAIN dan semacamnya sejatinya adalah punya missi pengkafiran sebagaimana yang dilakukan kaum liberal di luaran?
Bahkan kaum liberal di luaran konon tidak dikucuri dana lagi oleh The Asia Foundation yang berpusat di Amerika, namun konon yang lewat Kementerian Agama untuk menatar para dosen perguruan tinggi Islam justru masih ada. Jadi sama-sama mengadakan pengkafiran, orang-orang liberal yang di luaran, yang dibenci Ummat Islam karena ketahuan menyesatkan, konon kini seret atau tidak lancer dananya dari lembaga kafir.
Namun yang lewat dalam yakni jalur resmi untuk pendidikan tinggi Islam di antaranya untuk menatar para dosen IAIN dll se-Indonesia konon masih didanai. Buktinya masih ada penataran-penataran. Apakah itu karena dianggap efektif dalam menyesatkan Ummat Islam atau karena tidak mudah ketahuan oleh Ummat, wallahu a’lam. Itu urusan pertimbangan orang kafir dalam hal menimbang mana yang lebih efektif dalam mengkafirkan Ummat Islam.
4. Pengkafiran atau pemurtadan yang diupayakan lembaga kafir internasional lewat pusat Kementerian Agama dipersilakan berlangsung, masih pula pendidikan tinggi Islam itu di daerah tampaknya diintervensi pula oleh penguasa daerah. Misalnya, ada keluhan, di STAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri) Sumatera wilayah selatan (dengan 4.000-an mahasiswa) ada orang yang tidak berkapasitas, namun diangkat untuk memegang jabatan di STAIN; lalu dia menerapkan kewajiban-kewajiban kepada mahasiswa berupa hal-hal yang tak layak secara Islam.
Misalnya mewajibkan hafal Barzanji, Tahlilan, dan semacamnya untuk ujian komprehensif sebagai syarat (harus lulus) untuk ujian skripsi. Padahal Kitab Barzanji itu sendiri mengandung banyak kesesatan.(lihat nahimunkar.com, Kesesatan Kitab Barzanji, Qashidah Burdah, dan Maulid Syarafil Anam, February 13, 20119:30 pm, http://www.nahimunkar.com/kesesatan-kitab-barzanji-qashidah-burdah-dan-maulid-syarafil-anam-2/)
Itulah kenyataan penyebab utama suburnya aliran sesat di Indonesia. Jadi mereka itu bukan hanya ada yang jago di bidang permalingan yang disebut korupsi (ini harus dibuktikan, dan satu dua atau lebih memang ada yang tertangkap), namun jago pula dalam menlikung Islam, masih mengaku Islam namun merusaknya, sambil pura-pura menghadapi aliran sesat.
Anehnya, sesama pembela atau bahkan pengusung kesesatan, sering-sering saling tuduh, dan saling tak percaya. Kadang suara keras pun dilontarkan sesama mereka. Misalnya, pada waktu yang lalu Gus Dur dan Dawam Rahardjo mengecam keras Departemen Agama RI dalam kasus Ahmadiyah dan Nasr Hamid Abu Zayd (orang Mesir yang divonis murtad oleh para ulama Mesir dan Mahkamah Agung Mesir tahun 1996 karena menganggap Al-Qur’an itu produk budaya, kemudian ia lari ke Belanda justru dijadikan guru besar ulumul Qur’an di antara muridnya ada dosen IAIN dari Indonesia; dan tahun 2007 justru diundang oleh Departemen Agama RI untuk menatar 165-an dosen IAIN dan sebagainya se-Indonesia di Riau, Surabaya, dan Malang; Alhamdulillah ditolak oleh MUI Riau dan Ummat Islam Jawa Timur).
Gus Dur dan Dawam Rahardjo bukan protes lantaran Depag mengundang Nasr Hamid, tetapi lantaran Depag mengikuti protesnya MUI hingga membatalkan Nasr Hamid sebagai pembicara. Jadi hanya karena Depag mengikuti suara MUI yang ingin membela Islam dan menghindari pemurtadan saja sudah dikecam habis-habisan. Padahal kalau mengikuti omongan Gus Dur, justru lembaga-lembaga Islam pun akan rusak, karena sampai Masjid Istiqlal pun menurut Gus Dur, jangan hanya dikelola oleh orang Islam. Masih dikelola oleh umat Islam saja kini sudah mulai dirongrong secara aqidah, yaitu masjid Istiqlal dijadikan lahan parkir acara malam tahun baru 2008 oleh Pemda DKI Jakarta.1
Kira-kira, daripada mengikuti omongan Gus Dur nanti lebih dikecam umat Islam, maka biarlah sedikit mengikuti MUI dalam membatalkan Nasr Hamid yang divonis murtad itu, asal program pemurtadannya tetap jalan. Jadi kalau sudah diikuti suara MUI kan sudah aman, pemurtadan pun akan lebih lancar. Daripada ngotot mempertahankan Nasr Hamid untuk bicara, nanti malah pemurtadan sistematis lewat hermeunetika dan pluralisme agama dalam pendidikan tinggi Islam se-Indonesia diprotes keras pula agar dibatalkan, lebih baik sedikit mengalah, agar MUI dan lainnya mau diam. Setelah itu program pemurtadan sistematis itu tetap mereka langsungkan.
Tarik ulur dalam memelihara dan menjajakan kesesatan ini tampaknya sudah menjadi “pekerjaan” bagi para penyesat yang duduk di sana. Tinggal setelah mereka dicabut nyawanya oleh Malaikat Maut, baru tahu betapa pedihnya siksa akibat kejahatan mereka secara sistematis dan ramai-ramai merusak Islam lewat jalur Islam itu.
Peringatan keras dari Allah Subhanahu wa Ta’ala
Peringatan Allah swt berikut ini perlu direnungkan, untuk kembali ke jalan yang benar.
وَلَا تَحْسَبَنَّ اللَّهَ غَافِلًا عَمَّا يَعْمَلُ الظَّالِمُونَ إِنَّمَا يُؤَخِّرُهُمْ لِيَوْمٍ تَشْخَصُ فِيهِ الْأَبْصَارُ(42)مُهْطِعِينَ مُقْنِعِي رُءُوسِهِمْ لَا يَرْتَدُّ إِلَيْهِمْ طَرْفُهُمْ وَأَفْئِدَتُهُمْ هَوَاءٌ(43)وَأَنْذِرِ النَّاسَ يَوْمَ يَأْتِيهِمُ الْعَذَابُ فَيَقُولُ الَّذِينَ ظَلَمُوا رَبَّنَا أَخِّرْنَا إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ نُجِبْ دَعْوَتَكَ وَنَتَّبِعِ الرُّسُلَ أَوَلَمْ تَكُونُوا أَقْسَمْتُمْ مِنْ قَبْلُ مَا لَكُمْ مِنْ زَوَالٍ(44)وَسَكَنْتُمْ فِي مَسَاكِنِ الَّذِينَ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ وَتَبَيَّنَ لَكُمْ كَيْفَ فَعَلْنَا بِهِمْ وَتَبَيَّنَ لَكُمْ كَيْفَ فَعَلْنَا بِهِمْ وَضَرَبْنَا لَكُمُ الْأَمْثَالَ(45)وَقَدْ مَكَرُوا مَكْرَهُمْ وَعِنْدَ اللَّهِ مَكْرُهُمْ وَإِنْ كَانَ مَكْرُهُمْ لِتَزُولَ مِنْهُ الْجِبَالُ(46)فَلَا تَحْسَبَنَّ اللَّهَ مُخْلِفَ وَعْدِهِ رُسُلَهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ ذُو انْتِقَامٍ(47)يَوْمَ تُبَدَّلُ الْأَرْضُ غَيْرَ الْأَرْضِ وَالسَّمَوَاتُ وَبَرَزُوا لِلَّهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارِ(48)وَتَرَى الْمُجْرِمِينَ يَوْمَئِذٍ مُقَرَّنِينَ فِي الْأَصْفَادِ(49)سَرَابِيلُهُمْ مِنْ قَطِرَانٍ وَتَغْشَى وُجُوهَهُمُ النَّارُ(50) لِيَجْزِيَ اللَّهُ كُلَّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ إِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ(51)
Dan janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira, bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim. Sesungguhnya Allah memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak. Mereka datang bergegas-gegas memenuhi panggilan dengan mengangkat kepalanya, sedang mata mereka tidak berkedip-kedip dan hati mereka kosong.
Dan berikanlah peringatan kepada manusia terhadap hari (yang pada waktu itu) datang azab kepada mereka, maka berkatalah orang-orang yang zalim: 'Ya Tuhan kami, beri tangguhlah kami (kembalikanlah kami ke dunia) walaupun dalam waktu yang sedikit, niscaya kami akan mematuhi seruan Engkau dan akan mengikuti rasul-rasul'. (Kepada mereka dikatakan): 'Bukankah kamu telah bersumpah dahulu (di dunia) bahwa sekali-kali kamu tidak akan binasa? dan kamu telah berdiam di tempat-tempat kediaman orang-orang yang menganiaya diri mereka sendiri, dan telah nyata bagimu bagaimana Kami telah berbuat terhadap mereka dan telah Kami berikan kepadamu beberapa perumpamaan?'
Dan sesungguhnya mereka telah membuat makar yang besar padahal di sisi Allah-lah (balasan) makar mereka itu. Dan sesungguhnya makar mereka itu (amat besar) sehingga gunung-gunung dapat lenyap karenanya.
Karena itu janganlah sekali-kali kamu mengira Allah akan menyalahi janji-Nya kepada rasul-rasul-Nya; sesungguhnya Allah Maha Perkasa, lagi mempunyai pembalasan.(Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit, dan mereka semuanya (di padang Mahsyar) berkumpul menghadap ke hadirat Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa.
Dan kamu akan melihat orang-orang yang berdosa pada hari itu diikat bersama-sama dengan belenggu.
Pakaian mereka adalah dari pelangkin (ter) dan muka mereka ditutup oleh api neraka, agar Allah memberi pembalasan kepada tiap-tiap orang terhadap apa yang ia usahakan. Sesungguhnya Allah Maha cepat hisab-Nya. (QS. Ibrahim [14] : 42-51)
*Hartono Ahmad Jaiz dalam bukunya yang berjudulNabi-Nabi Palsu dan Para Penyesat Umat, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta 2008, dengan ditambahi kejadian yang baru.

Rabu, 16 Februari 2011

Ubuntu 11.04 Natty Narwhal and the Unity Desktop

Since 1995, with my first install of Debian from 14 (or 16, can't remember) 1.4MB floppy disks, I have used many different Linux distributions.

Knoppix, PCLinuxOS, Dragon Linux where I first used KDE, Phat Linux (which doesn't even have a Wikipedia reference any more), Red Hat, Damned Small, and I can't remember what else. I even took a good look at Linux From Scratch before realizing that I didn't really want to take the time away from my family to deal with that. But who knows what tomorrow brings?

Until now, I've not even tried to use Ubuntu, touted often as The Most Popular Linux Of All Time. It's based upon Debian, a mix of packages from the various Debian builds, and after using Debian itself for nearly 16 years I didn't see a need to "muck things up".

Two things have come together to make me want to try it. First, VirtualBox, which allows me to try these things without having to dedicate an entire system to the effort.

Second, Canonical (Ubuntu's parent company) finally is putting in something that is NOT included in Debian: the Unity Desktop.

So I figured, I just got done with an article all about how Linux is flexible, that the same applications can be presented in ways to suit anyone's preferences with different window managers and desktop environments, so let's check out Unity.

Installing:

I grabbed the Alpha-2 CD from Ubuntu's CD repository. I chose the x86 install simply because this isn't a hardware test. My friend Steven Rosenberg already did one of those, if you're interested.
Ubuntu comes as a LiveCD. That is, you can run a full Ubuntu system directly from the CD. So you can "try before you buy", and even though loading programs will be slower from the CD than from a fixed disk, it's a great way to see if a default Ubuntu install will give you what you are looking for.

I'll just install it, since the usefulness of LiveCDs is beyond the scope of this article.

I like that, "For best results, please ensure that this computer: ...is plugged in to a power source"

So, Ubuntu, I must ask, if it's not plugged in, how is anyone seeing this, the second install screen?

It makes me wonder what kind of service calls Canonical has received over the years. I've done telephone tech support, and I can tell you there are some very interesting characters out there in the world.

Ok, laptops should be plugged in. Thank you, that does make sense. I guess the humor of the situation didn't come through as clearly as I thought it did.

Aesthetically, Ubuntu uses a pretty installer. The mild rainbow, the use of rounded corners, all those borderless graphics. At some point, I'm going to see if I can get a video card that Ubuntu doesn't support, maybe from my friend Steven above, and see how Ubuntu deals with that. The reason I bring this up is because while there are people who call the generally text-based Debian install "ugly", it ALWAYS works, and allows a system to install without a GUI at all, so that video debugging can continue on from there.

Two things jump out at me, technically, during this install.

First, files are loaded from the CD and downloaded off the 'Net (if you say to do so) as the settings for language, time zone, user name and such are being asked. This is an excellent feature, especially if the person is going to be sitting there the whole time, by minimizing the perceived time required for the install to complete.

I guess it's easy when the distribution is already set up to be a "desktop" install with all the decisions of utilities, programs and GUI already made by the distribution's developers. Chalk one up for "One Size Fits All", right along with "Any color, so long as it's black." In Ubuntu's case, that used to be brown, now it's purple.

Second, the "Who are you?" screen both checks the robustness of the user's password, and allows a simple selection for encrypting the /home directory.

Encryption is a wonderful thing, it creates a barrier to common information thieves. Laptops deserve to be routinely encrypted, and GnuPG and the history of PGP should be understood by everyone who wants to use a computer for more than playing games.

Just a click or two further on, I find myself in unknown territory. Canonical is trying to sell me stuff. I know they're in this as both a profit making venture and because getting quality software into the hands of as many people as possible is good for everyone, but Hey, does that really put the best foot forward to Free, Libre and Open Source Software to the "first time Linux user" for which I've heard Ubuntu is so good?

Anyway, the slide-show continues with OpenOffice (even though Natty Alpha is installing LibreOffice, the lead-in screens still say Ubuntu 10. So it's no surprise that they haven't yet been updated to fit the new software list), GIMP and several other iconic packages of the F/OSS universe, as well as a couple of plugs for buying music and support if needed. Ok, that's fair. It is, after all, their system to build and present as they wish.

One reboot and, there it is. Four virtual desktops, and a trash can. I will say I am impressed. I've seen systems try to overwhelm with activity so many times (cough*windows*cough) that simply getting out of the way is down right refreshing.

Sound, email, instant messaging and network configuration all right there where people can find them. It's clear that Canonical's working with focus groups is not going to waste. These are, I agree, the things a new user wants to be able to find right away, especially if they are coming to Linux from a Mac or Windows environment.

This is good.

The list of applications is also impressive, including FireFox 4 and LibreOffice.

Under "Ubuntu Software Center" we find the Ubuntu repositories. The variety is excellent, and I find many familiar packages that I use and enjoy, like Celestia and Kalzium, demonstrating the agnosticism of the Linux Desktop here as well, with KDE, GNOME and other applications working in harmony.

Attaching a DVD ISO image didn't instantly load, but as I said this is through Virtual Box. But this is also Linux, and I can see if the kernel saw me attach the removable "media"... No, it didn't. So this is not Ubuntu's fault.

But here at the command prompt, I decided to try running xine and then look for the DVD, and what happened? Ubuntu politely informs me that xine is not installed, but can be, "and here's how". That is a NEAT feature.

$ sudo apt-get install xine-ui

...and there it is.

My first disappointment. Knowing that an unencrypted DVD image is not a good test, I put a real DVD in a real drive, just to make sure. Automount and auto-launch worked, but the library to decode encrypted disks was not installed by default.

I didn't find anything named "libdvdcss2" in the Ubuntu Software Center, so I'm going to try VLC, this time installed from the GUI. Easy to find, install looks like it's going to "just work".

Ok, VLC installed through the GUI without trouble. VLC wanted to use /dev/dvd but that was not where it was mounted, I  had to browse for /media/The_Eagle_Has_Landed but it will not load. It seems that VLC isn't going to cooperate either, so much for the advice I saw once that VLC doesn't use the restricted libdvdcss libraries. I've always known to get them right away when building a system, so this is my first foray into how people who don't know what to look for have to deal with.

Back to the command line, and "apt-get install libdvdcss2"

But no, libdvdcss2 is not available.

Let's try Ubuntu Help! Well, after a bit of searching, I did find an answer: The Command Line.

No kidding, playing an encrypted DVD is possible, but only after opening the dreaded Command Line and typing, 

$ sudo /usr/share/doc/libdvdread4/install-css.sh

Yes, it worked, but it demonstrates that there is still work to be done. It is a terrible commentary on the state of the law in the US, and elsewhere I am told, that playing a previously cracked (for personal backup purposes, thank you, I have two kids who scratch DVDs like crazy) DVD ISO image can be played easily and quickly, but it takes a reasonable amount of work and a willingness to go that extra mile in terms of using the command line, even in a distribution renowned for its usability for people who aren't Linux savvy, just to play a legally purchased physical disk.

However, this so far has been the GNOME desktop environment, not Unity. I bopped over to Ubuntu Software to do a search for "Unity", and it says it's installed.

You'll have to forgive me for not recognizing GNOME from Unity, the customization done on the desktop interface, or not, is one of the ways different distributions distinguish themselves. It is possible, with enough work, to make GNOME look like almost anything, and the greatly rumored simplicity and usability of Unity seemed, to me, to be right there in front of me already. I recall a line from M*A*S*H that I think fits this, "That's Ok, I am Buddhist person."

The session manager at the login-screen does not use the word "Unity", but "Ubuntu Desktop Edition". Ok, I would have known that already if it had worked any of the times that I tried it, but no matter what I selected yesterday what had come up was the "Classic".

I installed the KDE session manager, KDM, and tried again after the suggestion that the "Desktop Edition" is Unity, and for whatever reason what didn't work yesterday worked today. UNITY! at last.

The file management functions are the only functions in the Unity environment. Note that there is no clock, no network configuration, no email, just file manipulation. Even the option to close the session is unselectable. 

Which is fine, this environment is for file manipulation and, it seems, nothing else.

Everything works, the applications are still installed even if they are not listed anywhere, but I think the population of the Templates directory is going to be a prime focus of Unity deployment, to "prime the pump" with starting points for various applications. Maybe each application installed should put a file template, if it uses files, into Templates directory so that the user of the Unity Desktop will have a starting point for using that application. LibreOffice will get several templates, of course, one for each element of the office suite.

One thing that I find very strange is that I could find no way to get OUT of the Unity Desktop, except to use VirtualBox to send it a "reset" signal. Then the usual, or at least not an unusual, logout screen came up and everything proceeded as normal.

A reminder, maybe, that this is in fact an Alpha release of Ubuntu. I admit to being rather spoiled by the various Linux distributions and software releases over the years, in that they always seem to work pretty well regardless of the version numbers that are attached to them. Of course, the reverse is true as well, that if there is a package that doesn't work out the way I want it to, or maybe that should be that I don't work the way IT wants to, version numbers don't mean anything then either. It may become more evolved and stable, but the application and I just never work out, exactly like it may be possible to get along to some extent with someone without ever liking them.

This seems to me to be a good way to end this preview of the Unity Destkop and review of Ubuntu 11.04, Natty Narwhal. There is no need to go through individual applications, because those applications are standard across all Linux systems. LibreOffice works the same way on all the different operating systems it's built for, as just one example.

With Ubuntu, I see an excellent choice for the new computer user or someone who is new to Linux. Installation of the system is direct and simple without being simplistic, applications are easy to find and quick and efficient to install. I saw only one instance where an experienced Linux user would be a good idea to have around, and that only because of the regulatory environment that effects the world, not just Linux or Ubuntu.

Thank you for reading, I hope you enjoyed the tour.

Selasa, 15 Februari 2011

Muhammad, Sang Pengusaha Sukses



Rabu, 16 Februari 2011 
TRADISI ritual peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW yang dikenal dengan Maulid Nabi sudah menjadi budaya keagamaan di kalangan masyarakat Indonesia. Bahkan Maulid Nabi sudah dijadikan sebagai hari besar di negeri ini, yang berarti adalah hari libur nasional.
Bulan ini, tepatnya 15 Februari 2011, adalah tepat 12 Rabiul Awwal 1432 H pada penanggalan Islam (Hijriah) adalah hari kelahiran seorang Manusia Agung bernama Muhammad pembawa agama perdamaian untuk seluruh umat manusia.
Kelahiran Nabi sebenarnya tidak termasuk hari besar jika dilihat dari pandangan al-Qur’an dan al-Hadist. Namun, biasanya, peringatan Maulid Nabi dimaksudkan sebagai momentum untuk mempelajari dan merenungi kembali perjalanan hidup beliau sebagai seorang Rasul sekaligus sebagai manusia biasa yang sukses dalam berbagai sisi kehidupan.
Rasulullah adalah potret pribadi sukses dalam menjalani kehidupan yang harus menjadi panutan bagi umat manusia.
Sirah Nabi adalah living model yang diinginkan Allah untuk diimplementasikan oleh tiap pribadi muslim sejati. Jadi perayaan Maulid Nabi bukan sekedar kegembiraan atas kehadiran beliau dalam sejarah tapi yang lebih penting dari semua itu adalah bagaimana memahami perjalanan hidup beliau secara utuh, sempurna dan menyeluruh sehingga menjadi panutan dalam membangun peradaban umat manusia.
Dengan momentum Maulid Nabi ini, penulis ingin menghadirkan satu dimensi kehidupan Rasulullah yang jarang dibahas oleh para da’i dan muballig yaitu kesuksesan Muhammad sebagai seorang pedagang. Muhammad bukan hanya sukses dalam berdakwah, memimpin negara dan rumah tangga tapi juga sukses dalam membangun usaha. Muhammad bukan hanya disegani sebagai pemuka agama dan pemimpin negara tapi juga disegani sebagai saorang saudagar yang memiliki jangkauan jaringan bisnis dan pangsa pasar yang luas serta pelanggang yang banyak.
Muhammad sebagai pemimpin bisnis dan entrepreunership dijelaskan secara gamblang di dalam buku Dr. Syafi’i Antonio dengan judul “Muhammad SAW Super Leader Super Manager”. Buku tersebut menguraikan bahwa masa berbisnis Muhammad yang mulai dengan intership (magang), business manager, investment manager, business owner dan berakhir sebagai investor relative lebih lama (25 tahun) dibandingkan dengan masa kenabiannya (23 tahun). Nabi Muhammad bukan hanya figur yang mendakwakan pentingnya etika dalam berbisnis tapi juga terjun langsung dalam aktifitas bisnis.
Sang manager
Sejak kecil tepatnya saat berumur 12 tahun, Muhammad sudah diperkenalkan tentang bisnis oleh pamannya, Abu Thalib, dengan cara diikutsertakan dalam perjalanan bisnis ke Suriah.
Pengalaman perdagangan (magang) yang diperoleh Muhammad dari pamannya selama beberapa tahun manjadi modal dasar baginya disaat memutuskan untuk menjadi pengusaha muda di Mekah. Beliau merintis usahanya dengan berdagang kecil-kecilan di sekitar Ka’bah.
Dengan modal pengalaman yang ada disertai kejujuran dalam menjalankan usaha bisnisnya, nama Muhammad mulai dikenal dikalangan pelaku bisnis (investor) di Mekah.
Dalam kurung waktu yang tidak cukup lama, Muhammad mulai menampakkan kelihaiannya dalam menjalankan usaha perdagangan bahkan beberapa investor Mekah tertarik untuk mempercayakan modalnya untuk dikelolah oleh Muhammad dengan prinsip bagi hasil (musyarakah-mudharabah) maupun penggajian. Pada tahapan ini Muhammad telah beralih dari business manager (mengelola usahanya sendiri) menjadi investment manager (mengelola modal investor).
Dengan modal yang sudah relatif besar, Muhammad memiliki kesempatan untuk ekspansi bisnis untuk menjangkau pusat perdagangan yang ada di Jazirah Arab. Kejujuran beliau dalam berbisnis sehingga dikenal olah para pelaku bisnis sebagai Al-Amin menjadi daya tarik bagi kalangan investor besar untuk menginvestasikan modalnya kepada Muhammad, salah satu di antaranya adalah Khadijah yang di kemudian hari menjadi Istri pertama beliau.
Di usia 25 tahun, usia yang masih rekatif mudah, Muhammad menikah dengan Khadijah, seorang pengusaha sukses Mekah. Secara otomatis Muhammad menjadi pemilik sekaligus pengelola dari kekayaan Khadijah. Penggabungan dua kekayaan melalui pernikahan tersebut tentunya semakin menambah usaha perdagangan mereka baik secara modal maupun penguasaan pangsa pasar. Pada tahapan ini Muhammad sudah menjadi business owner.
Setelah Muhammad menikah dengan Khadijah, beliau semakin gencar mengembangkan bisnisnya melalui dengan ekspedisi bisnis secara rutin di pusat-pusat perdagangan yang ada di jazirah Arab, beliau intens mengunjungi pasar-pasar regional maupun Internasional demi mempertahankan pelanggan dan mitra bisnisnya. Jaringan perdagangan beliau telah mencapai Yaman, Suriah, Busara, Iraq, Yordania, Bahrain dan kota-kota perdagangan Arab lainnya.
Saat menjelang masa kenabian (berumur 38 tahun) di mana waktunya banyak dihabiskan untuk merenung beliau telah sukses menjadi pedagang regional dimana wilayah perdagangannya meliputi Yaman, Suriah, Busra, Iraq, Yordania, Bahrain dan kota-kota perdagangan Jazirah Arab lainnya. Pada tahapan in beliau telah memasuki fase yang menurut Robert T Kiyosaki disebutfinancial freedom.
Kehebatan berbisnis Muhammad bisa dilihat dalam sebuah riwayat yang menceritakan bahwa beliau pernah menerima utusan dari Bahrain, Muhammad menanyakan kepada Al-Ashajj berbagai hal dan orang-orang yang terkemuka serta kota-kota yang terkemuka di Bahrain. Pemimpin kabilah tersebut sangat terkejut atas luasnya pengetahuan geografis serta sentral-sentral komersial Muhammad. Kemudian al-Ashajj berkata “sungguh Anda lebih mengetahu tentang negeri saya daripada saya sendiri dan anda pula lebih banyak mengetahui pusat-pusat bisnis kota saya dibanding apa yang saya ketahu. Muhammad menjawab “saya telah diberi kesempatan untuk menjelajahi negeri anda dan saya telah melakukannya dengan baik.” (Syafi’i Antonio, 2007).
Demikianlah perjalanan sukses bisnis Muhammad sebelum resmi menjadi seorang Nabi yang jarang disampaikan kepada generasi-generasi muda di saat perayaan Maulid Nabi. Pemahaman yang utuh tentang biography kehidupan beliau akan menghindarkan terjadinya pemahaman yang sempit tentang diri Rasulullah. Banyak orang yang mengaggap Rasulullah sebagai orang yang miskin padahal justru sebaliknya beliau adalah sosok pebisnis yang sukses.
Melalui momentum Maulid Nabi ini kiranya perlu mengangkat tema kesuksesan Muhammad sebagai pelaku bisnis demi memacu munculnya pengusaha-pengusaha muda di kalangan Muslim. Sebenarnya negeri ini memiliki tokoh-tokoh agama sekaligus pengusaha sukses, sebut saja misalnya, tokoh nasional K.H. Ahmad Dahlan dengan usaha batiknya. Bahkan dalam sejarah gerakan kemerdekaan Indonesia kita mengenal tokoh-tokoh agama yang terhimpun dalam Syarikat Dagang Indonesia.
Sebagaimana kita ketahui jumlah wirausahawan di Indonesia masih relatif rendah dibandingkan dengan negara-negara maju di dunia. Dari total penduduk Indonesia, 231, 83 juta jiwa hanya sekitar 2 persen saja yang berwirausaha atau sebesar 4, 6 juta. Tentunya jumlah ini sangat kecil sekali jika negeri ini menginginkan penduduknya untuk semakin kuat dan mandiri secara ekonomi.
Negara-negara maju relative memiliki persentasi wirausahawan yang relatif tinggi dari jumlah penduduknya. Persentase penduduk Singapura yang berwirausaha mencapai 7 persen, China dan Jepang 10 persen dari total jumlah penduduk mereka. Sedangkan yang tertinggi adalah Amerika Serikat sebesar 11, 5-12 persen.
Melalui perayaan Maulid Nabi ini, kita perlu mengkampanyeka pentingnya berwirausaha seperti apa yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW sebagai solusi untuk menyelesaikan persoalan umat yaitu kemiskinan dan pengangguran. [Ali RamaPeneliti ISEFID (Islamic Economic Forum for Indonesia Development)]